13 Oktober 2009

Bagaimana bersikap kepada alam

Bencana alam sepertinya tidak henti-hentinya menimpa kita. Gempa bumi yang dahsyat sampai dengan letusan gunung berapi terus melanda kita. Terlintas dalam ingatan kita bagaimana tsunami besar meluluhlantakkan Aceh, kemudian disusul gempa bumi di Yogyakarta, dan bencana alam lainnya yang tak kalah dahsyat dan telah menelan banyak korban jiwa. “Apakah alam mulai enggan bersahabat dengan kita?”, kata Ebiet G. Ade dalam syair lagunya. Apa yang seharusnya kita lakukan? Apakah kita harus menaklukkan alam seperti yang dikatakan oleh orang-orang Barat yang mewarisi orang-orang Romawi?.

Sayyid Quthb dalam fii zhilalil Qur’an mengatakan, ungkapan tersebut menunjukkan pandangan bodoh yang terputus hubungannya dengan Allah dan dengan ruh alam semesta yang tunduk kepada Allah. Seorang muslim percaya bahwa ada hubungan lain selain hubungan penaklukan dan kekerasan. Karena sesungguhnya Allah telah menundukkan alam untuk manusia dan memudahkannya untuk menyingkap rahasia-rahasianya dan mengenal hukum alam. Sikap seorang manusia muslim terhadap kekuatan alam adalah berusaha mengenalnya dan bersahabat dengannya, bukan takut dan memusuhinya. Hal itu disebabkan karena kekuatan manusia dan kekuatan alam itu bersumber dari irodah dan kehendak Allah, tunduk kepada irodah dan kehendak-Nya itu, saling mengisi dan saling membantu dalam gerak dan arahnya.
Manusia harus memikirkan dan mengenali sendiri jalan untuk bersahabat dengan alam. Apabila kekuatan alam mengganggunya, hal itu disebabkan manusia tidak memikirkannya dan mengenalinya dengan baik, serta tidak mengerti hukum alam. Apabila manusia memikirkan, menjinakkan, dan mengenal rahasia-rahasia alam, maka ia akan hidup bersama alam dalam suasana yang tenang, bersahabat dan penuh kecintaan. Kita ingat bagaimana saudara-saudara kita di Simeuleu ketika terjadi tsunami, begitu melihat air laut surut mereka langsung berlarian menuju daerah yang lebih tinggi. Hal ini mereka lakukan karena mereka belajar dari kejadian yang pernah terjadi pada nenek moyang mereka. Dan mereka selamat dari musibah tsunami itu. Allahu a’lam

01 Oktober 2009

Nikmatnya I’tikaf Sepuluh hari di bulan Romadhon

Sepuluh hari terakhir dibulan Romadhon ini, aku habiskan dengan beri’tikaf di masjid Jogokariyan Yogyakarta. Peserta i’tikaf jumlahnya cukup banyak, untuk yang ikhwan saja sekitar 80 orang belum lagi yang akhwat. Pesertai’tikaf berasal dari beberapa daerah ada yang dari kota Yogyakarta saja tetapi ada juga yang berasal dari luar kota seperti Batang, Magelang, bahkan ada pesertai’tikaf yang berasal dari Kediri. Usia mereka juga berbeda-beda. Ada yang sudah sepuh (tua) tapi masih bersemangat untuk mengikuti i’tikaf, Subhanallah. Kebanyakan masih muda-muda dan mereka sebagian adalah mahasiswa yang belajar di Yogyakarta.

Subhanallah banyak hal yang dapat aku peroleh selama sepuluh hari itu. Dari diskusi yang sering kami lakukan, aku mendapatkan banyak manfaat. Mungkin ini adalah berkah di bulan Romadhon. Dari sesuatu yang belum tahu menjadi tahu, sesuatu yang selama ini salah aku lakukan, jadi tahu kalau salah dan melakukan yang benar. Kami saling berbagi dalam segala hal, keilmuan, makanan berbuka, cerita. Aku merasakan nikmatnya kebersamaan selama mengikuti i’tikaf ini. Kami belajar untuk saling mengenal, saling menghormati, menghargai pendapat orang lain, saling tolong menolong.

Panitia i’tikaf telah mengagendakan beberapa kegiatan selama i’tikaf yaitu pagi setelah melaksanakan sholat shunnah Syuruq, ada kajian kitab taujihat nabawiyah, siang setelah Sholat Dhuhur dilanjutkan kembali dengan kajian kitab Taujihat nabawiyah. Kajian ini diasuh oleh ustadz Ahmad Chudori Lc. Kemudian ba’da sholat Ashar ada pelajaran tajwid yang diasuh oleh ustadz Sholihudin. Kegiatan rutin lainnya adalah ceramah ba’da shubuh, ceramah qobla taraweh, dan kajian tematik bagi peserta i’tikaf ba’da sholat taraweh yang disampaikan oleh ustadz-ustadz muda yang energik sepertiust. A. Chudori Lc, ust. Fauzil Adzim, Mas Salim A.Fillah, Mas Shofwan AlBanna, Kang Puji Hartono, ust Ardiyanto.

Padatnya kegiatan yang disiapkan oleh panitia tidak mengurangi jadwal tersendiri bagi peserta i’tikaf untuk berdzikir, dan bertilawah Al-Qur’an. Para peserta i’tikaf diberikan kebebasan untuk bermunajat kepada Allah di pertengahan malam hingga menjelang waktu sahur.

Begitulah gambaran kegiatan sewaktu mengikuti i’tikaf di masjid Jogokariyan. Semoga tahun depan masih dipertemukan dengan bulan Romadhon dan kembali mengikuti program i’tikaf sepuluh hari di masjid ini, Amien...