03 Juni 2009

MENGATASI TUMPANG KEBIJAKAN PEMANFAATAN TANAH ANTARA UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA DENGAN UNDANG-UNDANG PERBENDAHARAAN NEGARA

Latar Belakang

UU เคจो 5 Tahun 1960 atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang ditetapkan pada tanggal 24 September 1960 merupakan hukum agraria baru untuk mengganti hukum agraria lama yang sederhana, tidak bersifat dualisme, dan menjamin kepastian hukum bagi rakyat Indonesia.
UUPA memiliki beberapa tujuan pokok yaitu meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur। Tujuan kedua adalah meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan। Dan tujuan ketiga adalah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya
UUPA beserta peraturan pelaksanaannya merupakan perangkat hukum yang mengatur bidang pertanahan, dan menciptakan hukum tanah Nasional yang tunggal didasarkan pada hukum adat. Hukum adat sebagai dasar UUPA adalah hukum aslinya golongan rakyat Indonesia yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi suasana keagamaan.
Untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, negara tidak perlu bertindak sebagai pemilik tanah, tetapi lebih tepat jika negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak sebagai Badan Pengelola. Negara diberi wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya; untuk menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bumi, air, dan ruang angkasa itu; untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, negara dapat memberikan tanah tersebut kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau swatantra) untuk dipergunakan pelaksanaannya masing-masing.
Keberadaan hak subjektif diakui oleh UUPA disamping hak masyarakat atas tanah dengan cara negara memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi setiap pemegang hak atas suatu bidang tanah. Dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap aset tanah instansi pemerintah dan kepastian hukum dalam kepemilikannya perlu didasari oleh dasar-dasar penguasaan hak yang sah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Pengaturan pendayagunaan dan pemanfaatan tanah aset instansi pemerintah telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara jo Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Perlindungan dan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah dapat diberikan melalui pendaftaran tanah.
Dengan adanya dua undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan dibawahnya menyebabkan banyak terjadi penyelewengan terhadap pemanfaatan tanah yang dikuasai negara. Hal ini karena banyaknya tumpang tindih diantara peraturan perundang-undangan ini. Beberapa kasus penyelewengan tanah negara telah disidangkan di pengadilan, seperti kasus Gelora Bung Karno, kasus tanah Kemayoran, dan banyak lagi kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terkait dengan pemanfaatan tanah yang dikuasai negara.

Permasalahan
Dari uraian diatas dapat dirumuskan bahwa permasalahan yang timbul dengan adanya dua undang-undang ini adalah terjadinya ketimpangan antara peraturan perundang-undangan pertanahan yang ada sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap hak atas tanah rakyat seluruhnya.

Pemanfaatan Tanah yang dikuasai Negara menurut UUPA
UUPA mengatur adanya hak-hak atas tanah, air, dan ruang angkasa. Hak-hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak yang telah disebutkan yang akan ditetapkan undang-undang serta hak yang bersifat sementara.
Dalam rangka pemanfaatan tanah yang dikuasai oleh negara, UUPA mengatur adanya hak pakai. Menurut Pasal 41 ayat 1 UUPA, hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan dalam undang-undang ini. Menurut pasal 43 ayat 1 UUPA, sepanjang tanah yang dikuasai langsung oleh negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.
Menurut pasal 43 ayat 1 UUPA, sepanjang tanah yang dikuasai langsung oleh negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, tanah yang dapat diberikan hak pakai adalah tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik. Hak pakai atas tanah negara dan atas hak pengelolaan diberikan jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Sesudah jangka waktu hak pakai atau perpanjangannya habis, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan hak pakai atas tanah yang sama.
Hak pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu diberikan kepada :
a. departemen, lembaga pemerintah non departemen, dan pemerintah daerah
b. perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional
c. badan keagamaan dan badan sosial.
Ketika pengguna tanah dengan hak pakai sebagaimana tersebut diatas tidak menggunakan tanah untuk kepentingan publik maka hak pakai selamanya atas tanah tersebut secara otomatis hapus.
Hak pakai atas tanah Negara untuk jangka waktu tertentu dan hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Peralihan hak pakai bisa terjadi karena jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah dan pewarisan. Peralihan hak pakai atas tanah negara harus dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang. Sedangkan peralihan hak pakai atas tanah hak pengelolaan harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan.

Pemanfaatan Tanah Milik Negara menurut UU Perbendaharaan Negara
Didalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang UU Perbendaharaan Negara, dikenal adanya istilah barang milik negara yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Barang milik negara/daerah berupa tanah yang dikuasai oleh pemerintah pusat/daerah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang bersangkutan.
Tanah dan bangunan milik negara/daerah yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan, wajib diserahkan pemanfaatannya kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 lebih jelas mengatur masalah pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan. Pengertian pemanfaatan pada pasal 1 angka 8 PP No. 6 Tahun 2006 adalah pendayagunaan barang milik negara/daerah yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Barang milik negara/daerah dapat disewakan kepada pihak lain sepanjang menguntungkan negara/daerah. Jangka waktu penyewaan barang milik negara/daerah paling lama lima tahun dan dapat diperpanjang. Penyewaan dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian sewa-menyewa, yang sekurang-kurangnya memuat: pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian; jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu; tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu penyewaan; persyaratan lain yang dianggap perlu. Hasil penyewaan merupakan penerimaan negara/daerah dan seluruhnya wajib disetorkan ke rekening kas umum negara/daerah.
Pinjam pakai barang milik negara/daerah dilaksanakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah. Jangka waktu pinjam pakai barang milik negara/daerah paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang. Pinjam pakai dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat: pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian; jenis, luas atau jumlah barang yang dipinjamkan, dan jangka waktu; tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu peminjaman; persyaratan lain yang dianggap perlu.
Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/daerah dengan pihak lain dilaksanakan dalam rangka mengoptimalkan daya guna dan hasil guna barang milik negara/daerah; sera meningkatkan penerimaan negara/pendapatan daerah. Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untuk memenuhi biaya operasional/pemeliharaan/perbaikan yang diperlukan terhadap barang milik negara/daerah dimaksud;
b. mitra kerjasama pemanfaatan ditetapkan melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/peminat, kecuali untuk barang milik negara/daerah yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung;
c. mitra kerjasama pemanfaatan harus membayar kontribusi tetap ke rekening kas umum negara/daerah setiap tahun selama jangka waktu pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan;
d. besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan ditetapkan dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang;
e. besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan harus mendapat persetujuan pengelola barang;
f. selama jangka waktu pengoperasian, mitra kerjasama pemanfaatan dilarang menjaminkan atau menggadaikan barang milik negara/daerah yang menjadi obyek kerjasama pemanfaatan;
g. jangka waktu kerjasama pemanfaatan paling lama tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang.
Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan kerjasama pemanfaatan tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah.
Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara/daerah dapat dilaksanakan dengan persyaratan pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi; dan tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untuk penyediaan bangunan dan fasilitas dimaksud. Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara dilaksanakan oleh pengelola barang.
Jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna paling lama tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani. Penetapan mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna dilaksanakan melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/peminat. Dalam jangka waktu pengoperasian, sebagian barang milik negara/daerah hasil bangun guna serah dan bangun serah guna harus dapat digunakan langsung untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah.

Alternatif pemecahan masalah
Ada perbedaan cara dalam pemanfaatan tanah “milik negara” antara UUPA dengan PP No. 6 Tahun 2006. Menurut UUPA, hak atas tanah diberikan dalam bentuk Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Sedangkan menurut PP No. 6 Tahun 2006, pemanfaatan tanah bisa dilakukan tanpa mengubah hak atas tanah melalui sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun guna serah/bangun serah guna.
Apabila dilihat secara hukum, hal ini merupakan penyimpangan terhadap UUPA. Tetapi jika dilihat dari tujuan secara ekonomi yaitu untuk meningkatkan penerimaan negara, maka hal ini bisa diterima dan menjadi suatu paradigma baru terhadap peraturan pertanahan di Indonesia. Negara kita memerlukan anggaran dana yang sangat besar untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, untuk itu pemerintah berusaha mencari langkah-langkah yang bisa meningkatkan penerimaan negara tidak terkecuali dari pemanfaatan tanah yang dikuasai negara.
Adanya perbedaan peraturan perundang-undangan ini menimbulkan ketidakpastian hukum di negara kita. Oleh karena itu, agar tercipta adanya kepastian hukum di negara kita terutama dalam hal pertanahan, maka perlu dilakukan revisi/perubahan terhadap UUPA dengan tidak menghilangkan ruh/semangat pembuatannya yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Revisi dilakukan dengan menambah pasal-pasal yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi yang semakin komplek yang dihadapi oleh negara terutama terhadap pemanfaatan tanah yang dikuasai oleh negara.

Kesimpulan/saran
Ketimpangan yang terjadi antara UUPA dengan UU Perbendaharaan Negara serta peraturan perundang-undangan dibawahnya karena adanya perbedaan pandangan/ pola pikir dalam pembuatannya. Secara hukum hal ini menimbulkan adanya ketidakpastian hukum pertanahan di Indonesia.
Oleh karena itu, agar dapat menampung kepentingan ekonomi yang lebih luas terutama terhadap pemanfaatan tanah yang dikuasai negara perlu dilakukan perubahan/revisi terhadap UUPA